Mengenang SE J230i, Jodoh yang Singkat

Hape, mungkin sekarang bagai kebutuhan primer untuk kita. Benda kecil ini sungguh luar biasa hebatnya karena bisa mempersingkat jarak. Kalau kata orang sekarang sih, "mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat". Bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di seluruh belahan dunia, tapi bisa bikin asyik sendiri sampe orang-orang di sekitar dicuekin, hehe. Mungkin berlaku juga buat saya, mulai dari pertama punya hape. Kalau ingat tentang hape pertama yang saya punyai, rasanya jadi pingin mewek sendiri...hiks.

Sejak kecil, ibu selalu mengajarkan hal yang baik untuk anak-ananya, salah satunya tentang kesadaran menabung dan manajemen keinginan. Setiap kali anak-anaknya ingin punya barang tertentu, ibu gak serta-merta membelikan, tapi mengajarkan untuk menabung untuk membeli barang tersebut. Barang-barang yang diinginkan ditulis dalam daftar keinginan, lalu diurutkan berdasarkan prioritas yang kami tentukan. Kalau mendesak tapi belum punya tabungan, terjadilah aturan 'kredit', jadi ibu membelikan dulu untuk kami, tapi nanti jatah bulanan kami dipotong untuk ganti harga barang tersebut.

Hape pertama keluarga, gambar dari
http://ixbtlabs.com/articles/digestmobile0109/
Termasuk waktu saya ingin punya hape sendiri. Ceritanya, telepon yang pertama kali keluarga kami miliki adalah Siemens, dibeli ketika saya masih SD, sekitar tahun 2000-an. Keluarga kami tidak memiliki telepon rumah karena rumah masih berstatus kontrak. Jadi, untuk menjaga komunikasi dengan keluarga, ibu memilih untuk beli hape. Siemens M35 dipilh dengan pertimbangan harganya yang paling murah dari pada yang lain, hehe.

Alhamdulillah beberapa tahun kemudian kami sudah gak kontrak rumah lagi, lalu pasang telepon rumah. Sementara itu, waktunya kakak saya masuk kuliah. Ia diterima di PTN di Bandung, sementara rumah kami di Malang. Jarak yang sangat jauh kalau diingat belum pernah ada diantara keluarga kami yang tinggal berpisah dari orang tua. Jadilah hape Siemens itu dibawa kakak ke Bandung. (Sampai sekarang hape ini masih disimpan lho sama kakak saya, walau sudah 'wafat').

Sementara itu, saya yang masih kelas 2 SMA pingin banget punya hape juga. Tapi untuk kepentingan yang sifatnya hiburan seperti itu, ibu akan memberikan tanggung jawab berusaha memilikinya pada saya sendiri, maksudnya pakai uang sendiri. Karena tabungan belum cukup, saya minta pakai sistem kredit deh ke ibu.

Gambar dari
http://www.reviewhandphone.com/sony-ericsson/sony-ericsson-j230/
Kalau tidak salah saya jadi beli hape waktu sudah masuk kelas 3 SMA. Ibu antar saya beli ke salah satu kenalannya. Kami sama-sama gak punya pengetahuan tentang memilih hape waktu itu. Gak tau fasilitas apa yang harusnya ada di hape yang akan kami pilih. Gak kenal istilah-istilah yang ada di spesifikasi hape. Tapi kami disodori tabloid yang isinya berbagai pilihan hape dengan spesifikasi dan harganya. Akhirnya saya pilih Sony Ericsson J230i, karena dari penampilannya lebih bagus dari yang lain (dengan rentang harga sama), bentuknya kecil, layar berwarna, dan bisa dipakai internetan (waktu itu masih pakai WAP). Waktu itu harga hape ini kalau gak salah sekitar 600ribu. Hampir senilai dengan uang saku selama setahun. Tapi gak mungkin kalau saya cicil dengan seluruh uang saku, jadi uang saku dipotong sebagian saja selama beberapa bulan.

Setelah punya hape ini, saya senang sekali. Puas sekali dengan hape ini. Dari pada hape lain yang pernah saya lihat, layarnya termasuk besar dan warnanya jernih, gak kelihatan kotak-kotak seperti hape sekelasnya pada waktu itu, keypadnya nyaman untuk dipake ketik-ketik sampai jari keriting, dan suaranya jernih.

Saya bukan tipikal yang bisa ngobrol dengan teman-teman atau orang lain tanpa adanya kesamaan minat, bisa dibilang saya kurang bisa beramah-tamah atau gak gaul. Jadi begitu punya hape saya asyik sendiri dengan pacar saya ini. Apalagi bisa pakai internet, dan kebetulan diajak teman untuk masuk ke forum, situs WAP dari Inggris. Situs itu punya fasilitas chatting dan forum internasional, tapi juga ada 'kelas' regional, jadi saya yang gak jago bahasa inggris masih bisa ikut ngobrol dengan teman-teman Indonesia di forum itu. Bahkan suatu ketika saya sampai terpesona dengan tulisan dan gagasan seseorang di forum itu, orang yang sekarang jadi suami saya . Tuh kan, betapa berjasanya J230 ini buat saya...

Hingga akhirnya saya lulus SMA dan diterima di salah satu PTN di Yogyakarta. Kebetulan sehari sebelum waktu saya berangkat ke Yogya, ada saudara yang menikah. Jadi berdua dengan ibu, kami menghadiri pernikahan itu ke Blitar, naik kereta api. Selama dalam perjalanan saya merasa perlu berhati-hati sekali dan menyimpan hape saya dengan baik. Saya masukkan hape kesayangan saya ini ke tas yang berisi kado untuk mempelai. Suaranya pun sudah saya set silent agar kalau berbunyi tidak terdengar penumpang lain. Sampai saatnya turun dari kereta, ketika masih berdesak-desakan antri di depan pintu keluar, bergetar lah si hape, otomatis layarnya yang jernih itu menyala dan cahayanya menembus tas. Perasaan saya langsung gak enak. Saya dekap tas itu rapat-rapat.

Sampai akhirnya berhasil keluar dari kereta, kami cepat-cepat keluar dari stasiun dan masuk ke angkutan umum untuk melanjutkan perjalanan. Begitu duduk di dalam angkutan, langsung saya periksa tas berisi kado dan hape saya itu. Lubang. Ya, lubang! Tas itu rusak, dilubangi dengan sengaja. Dan di dalamnya? Tidak ada hape. Tidak ada! Raib! Nyatalah kekhawatiran saya di waktu yang singkat saat keluar dari kereta itu. Dalam waktu yang singkat, hape itu telah berpindah tanpa ijin, entah ke tangan siapa. Hape pertama saya, yang begitu berjasa, yang saya beli dengan mengurangi jatah uang saku, dan bahkan cicilannya pun belum lunas, hiks. Saya langsung lemas, dan serasa patah hati. Tapi saya berusaha tetap bersikap cool, gengsi dong sedih di acara mantenan... Untungnya (selalu ada untung di balik musibah bagi orang Jawa), ibu berbaik hati, saya gak perlu melanjutkan membayar cicilan.

Akhirnya, karena keesokan harinya saya sudah harus berangkat ke Yogya dan tinggal seorang diri di sana, jadilah bapak memberikan hape. Hape produk Cina yang sudah bisa layar sentuh dan ada TVnya. Jadi saya tetap bisa komunikasi dan ada hiburan hape dan TV sekaligus selama dikosan. Tapi tetap saja, gak semantab hape yang dibeli dan dipilih sendiri. Hiks... masih terasa sayang kalau ingat SE J230-ku. Mungkin karena itu pula, sampai saat-saat selanjutnya ketika ada kesempatan membeli dan memilih hape sendiri, saya selalu memilih produk dari brand yang sama. Masih sayang, sih...

Itu lah kisah perjodohan saya dengan SE J230i, jodoh yang singkat dan sangat berkesan...

Kenangan ini ditulis dalam rangka mengikuti acara Giveaway bertema "Cerita Hape Pertama" di:







Romantika di Masjid Tertua Kota Budaya

Kencan pertama, bagi setiap pasangan pasti menjadi peristiwa penting yang amat berkesan. Apalagi kalau kencan itu berlanjut ke pelaminan, betapa indahnya... Setelah sekian waktu berlalu, membuka foto-foto lama, kenangan itu kembali terbayang. Tempat yang kami kunjungi pada kencan pertama dulu, Masjid Agung Kota Gede, Yogyakarta.

Peta lokasi Masjid Kota Gede dari http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-map/
Menikmati perjalanan mulai dari Terminal Giwangan ke arah utara lalu ke timur. Perjalanan sangat menarik karena di wilayah itu ada sentra kerajinan perak, banyak pengrajin dan toko perak di kanan-kiri jalan, dari yang kecil hingga yang besar. Semakin mendekati lokasi tujuan, suasana tradisional dan historikal semakin terasa. Ada pasar tradisional yang sangat ramai, yang paling tampak di sepanjang jalan adalah berbagai makanan tradisional yang dijajakan.

Di salah satu pojok tikungan di dekat pasar itu kami jumpai tugu yang tidak terlalu terlihat menonjol, hanya karena bentuknya yang tidak wajar ada di pinggir jalan sajalah kami tertarik untuk melihatnya, di salah satu sisinya ada jam kuno, dan keterangan bertuliskan huruf jawa di bagian bawahnya. Di dekat situ pula dapat kita jumpai plang jalan bertuliskan “Alas Mentaok”, nama hutan yang kemudian dibangun Panembahan Senapati menjadi Kerajaan Mataram yang besar. Masyarakat sekitar meyakini bahwa daerah itulah dulu yang dinamakan Alas Mentaok.

Melanjutkan perjalanan, kami menjumpai daerah  yang rindang, penuh dengan pepohonan besar, di wilayah itulah Masjid Agung Kota Gede berada. Ada plang kecil di pinggir jalan bertulikan “Makam Raja-Raja Mataram”. Makam itu memang terletak satu wilayah dengan masjid, pintu masuknya pun melalui pintu gerbang masjid pula.

Suasana di depan gerbang pintu masjid itu  benar-benar terasa sejuk karena adanya pohon beringin yang sangat besar. Konon menurut warga usia pohon itu sudah ratusan tahun, sehingga disebut “wringin sepuh” atau ‘beringin tua’. 
Masjid tampak dari depan, sebagian dinding
yang berbentuk L menghalagi pandangan ke arah masjid
Memasuki wilayah masjid, kami melihat gerbang yang bentuknya tidak biasa. Tembok gerbang tidak hanya berada di kedua sisi pintu masuk, tapi juga menjorok ke dalam hingga membentuk huruf L dan menghalangi pandangan ke arah bangunan masjid. Pemandangan ini memang tampak aneh, tapi setelah ditelusuri, ternyata ada makna yang sangat penting dari bentuk gerbang itu. Ternyata bentuk itu adalah perwujudan sikap toleransi Sultan Agung pada sebagian warga yang ikut membangun masjid yang masih memeluk agama Hindu dan Budha.

Di dalam halaman masjid, terlihat sebuah tugu yang cukup mencolok karena tampak berbeda dari lingkungan sekitarnya. Tugu ini berwarna hijau, setinggi tiga meter, dan di salah satu sisinya terdapat sebuah jam, sepertinya dimaksudkan sebagai petunjuk waktu shalat. Ternyata itu adalah sebuah prasasti sebagai tanda pembangunan masjid tahap kedua oleh Susuhunan Paku Buwana. Masjid pertama kali dibangun oleh Sultan Agung, hanya berbentuk bangunan kecil hingga disebut 'Langgar', belum berbentuk bangunan besar seperti yang saat ini, hasil pembangunan pada masa pemerintahan Susuhuhan Paku Buwana.
 
Tugu prasasti penanda pembangunan oleh Susuhunan Paku Buwana
Mulai memperhatikan bangunan utama masjid, yang pertama tampak mencolok adalah hiasan ukiran di atas pintu masuk, dengan tulisan angka tahun '1856' dan '1926', penanda waktu-waktu renovasi masjid. Mengingat usianya yang sudah ratusan tahun, pasti lah kalau masjid ini sudah mengalami berberapa kali renovasi agar tetap kokoh dan dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Meskipun begitu, suasana masjid tetap kental dengan suasana tradisional, bentuk bangunan limasan, tiang-tiang kayu, dan lampu antik yang tergantung di atap. 
 
Masjid tampak secara keseluruhan
Mengelilingi bangunan masjid, terdapat parit yang fungsinya sebagai drainase air yang telah digunakan untuk berwudhu. Di atas parit ini dibuat jembatan dari kayu yang menghubungkan ke pintu-pintu masjid. Suasana jadi tampak semakin indah.

Di teras masjid ada sebuah bedug yang sama tuanya dengan usia masjid. Bedug ini hadiah pemberian dari Nyai Pringgit, seorang wanita asal Kulon Progo yang menurut cerita menggendong bedug dari daerah asalnya hingga masjid dengan berjalan kaki. Hal yang tidak terbayang dan mustahil kalau kita lakukan kini, karena pasti jarak yang ditempuh terasa sangat jauh, bahkan dengan kendaraan bermotor pun memerlukan waktu sekitar satu jam untuk menempuh perjalanan Kulon Progo - Yogya.

Suasana tradisional yang lekat pada masjid ini terasa sangat berkesan karena jarang ditemukan. Saat ini kebanyakan masjid yang ditemui meniru gaya bangunan Timur Tengah dengan hiasan kubah. Namun berbeda dengan masjid tertua di Yogyakarta ini. Bangunan berbentuk limasan, tiang-tiang terbuat dari kayu, dan langit-langitnya dihiasi lampu kuno. Atapnya berbentuk limas, puncaknya tidak dihiasi kubah, melainkan sebuah mahkota yang menyerupai lambang kerajaan, disebut pataka.

Di sebelah kiri masjid, ada sebuah gapura, di tengah gerbang itu tampak dinding berhiaskan marmer yang bertuliskan waktu wafatnya Panembahan Senapati, pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Mataram Islam. Gerbang ini adalah pintu masuk menuju tempat makam Raja-raja Mataram Islam. Mulai dari pendirinya, Panembahan Senapati, orang tuanya, hingga keluarga kerajaan dan beberapa keturunannya. Bahkan makam nenek-kakek Panembahan Senapati pun juga dipindah ke tempat itu. Dari pemakaman ini kita dapat memeperoleh kisah-kisah yang menarik. Tentang salah satu putra Panembahan Senapati yang terkenal sakti namun meninggal di usia muda dengan cara yang misterius yakni Pangeran Rangga, hingga sebuah makam yang dibatasi dinding sehingga separuh berada di dalam bangunan pemakaman, dan separuh berada di halaman, yakni makam menantu sekaligus musuh Panembahan Senapati, Ki Ageng Mangir. Sedangkan di luar bangunan utama, masih ada beberapa makam dari tokoh-tokoh yang berjasa besar pada Kerajaan Mataram.
Gapura menuju makam Raja-raja Mataram, serta
marmer bertuliskan waktu wafatnya Panembahan Senapati.

Tempat itulah yang menyimpan kenangan bagi kami. Menikmati perjalanan sambil berbagi kesan tentang tempat yang menarik. Berbagi kesenangan mengunjungi tempat dengan kisah sejarah yang membuat kami tertarik. Bersama-sama terkesan dengan suasana toleransi di tempat ibadah umat Islam, dengan dukungan umat beragama lain, dan dalam suasana budaya lokal. Juga mengunjungi dan berdoa untuk Raja-raja Mataram, yang atas jasa mereka pula lah, agama Islam dapat sampai pada masyarakat Jawa.

Tempat itu juga yang kami ingin untuk mengajak anak-anak kami berkunjung kelak. Agar mereka dapat menikmati suasana dan meneguk banyak ilmu serta kebijaksanaan di dalamnya.


Tulisan ini dipersembahkan dalam rangka mengikuti program "A Place to Remember Giveaway" dari blog nurulnoe.com
Banner GA