Romantika di Masjid Tertua Kota Budaya
Kencan
pertama, bagi setiap pasangan pasti menjadi peristiwa penting yang amat
berkesan. Apalagi kalau kencan itu berlanjut ke pelaminan, betapa indahnya...
Setelah sekian waktu berlalu, membuka foto-foto lama, kenangan itu kembali
terbayang. Tempat yang kami kunjungi pada kencan pertama dulu, Masjid Agung
Kota Gede, Yogyakarta.
Peta lokasi Masjid Kota Gede dari http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-map/ |
Menikmati
perjalanan mulai dari Terminal Giwangan ke arah utara lalu ke timur. Perjalanan
sangat menarik karena di wilayah itu ada sentra kerajinan perak, banyak
pengrajin dan toko perak di kanan-kiri jalan, dari yang kecil hingga yang
besar. Semakin mendekati lokasi tujuan, suasana tradisional dan historikal
semakin terasa. Ada pasar tradisional yang sangat ramai, yang paling tampak di
sepanjang jalan adalah berbagai makanan tradisional yang dijajakan.
Di salah
satu pojok tikungan di dekat pasar itu kami jumpai tugu yang tidak terlalu terlihat menonjol, hanya karena bentuknya yang tidak wajar ada di pinggir jalan
sajalah kami tertarik untuk melihatnya, di salah satu sisinya ada jam kuno, dan keterangan bertuliskan huruf jawa di bagian bawahnya. Di
dekat situ pula dapat kita jumpai plang jalan bertuliskan “Alas Mentaok”, nama
hutan yang kemudian dibangun Panembahan Senapati menjadi Kerajaan Mataram yang
besar. Masyarakat sekitar meyakini bahwa daerah itulah dulu yang dinamakan Alas
Mentaok.
Melanjutkan
perjalanan, kami menjumpai daerah yang
rindang, penuh dengan pepohonan besar, di wilayah itulah Masjid Agung Kota Gede
berada. Ada plang kecil di pinggir jalan bertulikan “Makam Raja-Raja Mataram”.
Makam itu memang terletak satu wilayah dengan masjid, pintu masuknya pun
melalui pintu gerbang masjid pula.
Suasana di
depan gerbang pintu masjid itu
benar-benar terasa sejuk karena adanya pohon beringin yang sangat
besar. Konon menurut warga usia pohon itu sudah ratusan tahun, sehingga disebut
“wringin sepuh” atau ‘beringin tua’.
Masjid tampak dari depan, sebagian dinding yang berbentuk L menghalagi pandangan ke arah masjid |
Di dalam halaman masjid, terlihat sebuah tugu yang cukup mencolok karena tampak berbeda dari lingkungan sekitarnya. Tugu ini berwarna hijau, setinggi tiga meter, dan di salah satu sisinya terdapat sebuah jam, sepertinya dimaksudkan sebagai petunjuk waktu shalat. Ternyata itu adalah sebuah prasasti sebagai tanda pembangunan masjid tahap kedua oleh Susuhunan Paku Buwana. Masjid pertama kali dibangun oleh Sultan Agung, hanya berbentuk bangunan kecil hingga disebut 'Langgar', belum berbentuk bangunan besar seperti yang saat ini, hasil pembangunan pada masa pemerintahan Susuhuhan Paku Buwana.
Mulai memperhatikan
bangunan utama masjid, yang pertama tampak mencolok adalah hiasan ukiran di
atas pintu masuk, dengan tulisan angka tahun '1856' dan '1926', penanda
waktu-waktu renovasi masjid. Mengingat usianya yang sudah ratusan tahun, pasti
lah kalau masjid ini sudah mengalami berberapa kali renovasi agar tetap kokoh
dan dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Meskipun begitu, suasana masjid
tetap kental dengan suasana tradisional, bentuk bangunan limasan, tiang-tiang
kayu, dan lampu antik yang tergantung di atap.
Mengelilingi
bangunan masjid, terdapat parit yang fungsinya sebagai drainase air yang telah
digunakan untuk berwudhu. Di atas parit ini dibuat jembatan dari kayu yang
menghubungkan ke pintu-pintu masjid. Suasana jadi tampak semakin indah.
Di teras
masjid ada sebuah bedug yang sama tuanya dengan usia masjid. Bedug ini hadiah
pemberian dari Nyai Pringgit, seorang wanita asal Kulon Progo yang menurut
cerita menggendong bedug dari daerah asalnya hingga masjid dengan berjalan
kaki. Hal yang tidak terbayang dan mustahil kalau kita lakukan kini, karena
pasti jarak yang ditempuh terasa sangat jauh, bahkan dengan kendaraan bermotor
pun memerlukan waktu sekitar satu jam untuk menempuh perjalanan Kulon Progo -
Yogya.
Suasana
tradisional yang lekat pada masjid ini terasa sangat berkesan karena jarang
ditemukan. Saat ini kebanyakan masjid yang ditemui meniru gaya bangunan Timur
Tengah dengan hiasan kubah. Namun berbeda dengan masjid
tertua di Yogyakarta ini. Bangunan berbentuk limasan, tiang-tiang terbuat dari
kayu, dan langit-langitnya dihiasi lampu kuno. Atapnya berbentuk limas,
puncaknya tidak dihiasi kubah, melainkan sebuah
mahkota yang menyerupai lambang kerajaan, disebut pataka.
Di sebelah
kiri masjid, ada sebuah gapura, di tengah gerbang itu tampak dinding berhiaskan
marmer yang bertuliskan waktu wafatnya Panembahan Senapati, pendiri sekaligus
raja pertama Kerajaan Mataram Islam. Gerbang ini adalah pintu masuk menuju
tempat makam Raja-raja Mataram Islam. Mulai dari pendirinya, Panembahan
Senapati, orang tuanya, hingga keluarga kerajaan dan beberapa keturunannya.
Bahkan makam nenek-kakek Panembahan Senapati pun juga dipindah ke tempat itu. Dari
pemakaman ini kita dapat memeperoleh kisah-kisah yang menarik. Tentang salah
satu putra Panembahan Senapati yang terkenal sakti namun meninggal di usia muda
dengan cara yang misterius yakni Pangeran Rangga, hingga sebuah makam yang
dibatasi dinding sehingga separuh berada di dalam bangunan pemakaman, dan
separuh berada di halaman, yakni makam menantu sekaligus musuh Panembahan
Senapati, Ki Ageng Mangir. Sedangkan di luar bangunan utama, masih ada beberapa
makam dari tokoh-tokoh yang berjasa besar pada Kerajaan Mataram.
Gapura menuju makam Raja-raja Mataram, serta marmer bertuliskan waktu wafatnya Panembahan Senapati. |
Tempat
itulah yang menyimpan kenangan bagi kami. Menikmati perjalanan sambil berbagi
kesan tentang tempat yang menarik. Berbagi kesenangan mengunjungi tempat dengan
kisah sejarah yang membuat kami tertarik. Bersama-sama terkesan dengan suasana
toleransi di tempat ibadah umat Islam, dengan dukungan umat beragama lain, dan
dalam suasana budaya lokal. Juga mengunjungi dan berdoa untuk Raja-raja
Mataram, yang atas jasa mereka pula lah, agama Islam dapat sampai pada
masyarakat Jawa.
Tempat itu juga
yang kami ingin untuk mengajak anak-anak kami berkunjung kelak. Agar mereka
dapat menikmati suasana dan meneguk banyak ilmu serta kebijaksanaan di
dalamnya.
Tulisan ini dipersembahkan dalam rangka mengikuti program "A Place to Remember Giveaway" dari blog nurulnoe.com
Baru tau loh ttg riwayat Nyai Pringgit itu :)
Terima kasih telah berpartisipasi dlm GA ini, good luck :)