Adalah perhitungan angka tahun berdasar peredaran bulan dimulai dari kata bernilai satu sampai sepuluh.
Makna:
1: rupa 'rupa', candra 'bulan', sasi 'bulan', lek 'bulan', nabi / wudel 'pusat', sasa 'bintang', dhara 'perut', bumi 'bumi, dunia, tanah', budha artinya luhung 'tinggi', ron 'daun', medi 'dubur', iku 'ekor', dara 'merpati', janma 'orang', awak 'badan', suta 'anak', siti 'tanah pasir', wani 'berani', wungkul 'tunggal, utuh', wulan 'bulan', temen 'sungguh'.
2: netra 'mata', caksu 'lubang mata, rongga mata', nayana 'air mata', sikara 'dua tangan', buja 'bahu', paksa 'rahang, sayap', drasthi 'kening', ama atau pasu 'tulang pangkal hidung', locana 'mata', carana 'anak rambut di pelipis, kaki', karna 'telinga', karni 'tanduk, daun telinga', anebah 'pelupuk mata', telingan 'pendengaran, telinga', mata atau netra 'mata', tangan 'tangan', lar 'bulu sayap', anembah 'menghormat, menyembah', suku 'kaki'.
3: bahni 'api untuk bekerja bagi pandai besi', pawaka 'api membara yang berasal dari puncak gunung berapi, siking 'api seludang atau api tali', teken 'tongkat' artinya guna, yaitu tangkai api, dahana yaitu api yang datang tanpa diketahui asalnya. Tri rana tunon artinya api di medan perang. Uta artinya lintah, ujel 'belut', nauti 'cacing', jatha 'taring'. Wedha berarti kitab hukum. Nalagni artinya panas hati. Utawaka yaitu api pemanggang. Kayalena yaitu api abu. Geni diyan 'api dian', tiga 'tiga'. Yang menyebabkan orang tahu sesuatu ialah api obor.
4: wedang artinya air panas. Sagara artinya air yang mengelilingi bumi. Karti artinya air sumur. Sukci ialah air dalam jun air suci. Jaladri artinya air rawa, nadi artinya air sungai. Her yaitu air yang bertempat di pucuk gunung. Nawa artinya air dingin yang jernih. Samudra artinya air tetes daun, air hujan gerimis. Waudadi mempunyai dua arti, yaitu air pancuran dan air sadapan yang menetes dari seludang kelapa atau enau. Sindu yaitu air susu. Warih adalah air kelapa. Adapun padon 'segi', empat jumlahnya. Tasik berarti laut atau air akar. Catur yuda artinya empat penjuru angin. Kata pat artinya empat.
5: buta artinya raksasa jantan yang bertaring. Pandhawa itu anak Endra, menurut hukum anak Pandhu. Darah, urat, hati, detik, kewaspadaan dan kelima musim itu sarana segala perbuatan. Adapun idera itu daya penglihatan. Yaksa adalah raksasa betina yang bertaring. Sara artinya tajam atau senjata. Maruta yaitu angin ribut. Gana yaitu hutan besar. Margana yaitu angin yang bertempat di jalan. Samirana yaitu angin penghapus keringat. Warayang artinya senjat. Panca artinya lima. Bayu artinya angin yang keluar dan masuk. Wisikan artinya ajaran ayah dalam usaha segala hal. Gulingan yaitu angin yang dikeluarkan demi sedikit. Lima artinya lima.
6: masa nem 'musim keenam'. Rasa ada enam, letak rasa sudah tetap tempatnya. Winaya yaitu nama musim enam dan labah-labah air. Gana artinya lebah. Retu artinya berkumpul dan berjejal. Anggas yaitu margasatwa. Kayu yaitu pohon tumbang. Oyag artinya bergetar, bergerak atau goyang. Karengya artinya terdengar. Rinengga artinya dihias. Enam rasa termasuk golongan kata bernilai enam. Tahen yaitu kayu tahun yang ditebang. Prabatang artinya kayu tumbang yang bergolek melintang jalan. Kilat itu ada enam, yaitu halilintar pada musim keenam. Lona artinya pedas, mla artinya kecut, tikta artinya pahit, kyasa artinya gurih, dura artinya asin, sarkara artinya manis.
7: ardi yaitu gunung sepanjang pantai. Prawata yaitu gunung yang bersambung dengan gunung di sepanjang pantai. Turangga yaitu kuda. Giri artinya gunung besar. Resi artinya pendeta suci. Angsa artinya banyak 'angsa'. Biksuka yaitu sapi 'lembu'. Cala yaitu kaki gunung. Imawan yaitu awan indah di puncak bukit. Sapta artinya tujuh. Pandhita artinya putus pengetahuan atau pandai. Swara artinya pendeta termashur. Gora artinya besar. Muni yaitu pendeta pengejar. Swa artinya kuda yang dikebiri. Tungganganing gunung artinya tengah-tengah bukit. Wiku yaitu pendeta di gunung yang berjumlah tujuh.
8: Naga yaitu ular besar. Panagan artinya tempat ular besar luar biasa. Salira yaitu menyawak 'biawak'. Basu yaitu tekek 'tokek' dan berarti pemuda negara serta nama musim kedelapan. Tanu artinya bunglon, murti artinya cecak. Kunjara yaitu nama gedung penjara dan kadang gajah. Gajah yaitu gajah pada wantilan 'tonggak pengikat'. Dipangga yaitu gajah yang sedang dikendarai raja. Enthi yaitu gajah berpelana. Samadya yaitu gajah di tengah hutan. Manggala yaitu gajah yang dibawa ke medan perang. Dwirada artinya gajah mabuk. Bujangga artinya ular jantan atau dua ular jantan dan betina.
9: trustha, yaitu lubang senapang. Trusthi ialah lubang demon. Muka artinya dai atau muka. Gapura yaitu pintu raja, wiwara yaitu pintu serambi, dwara artinya ruang tempat tinggal. Nanda yaitu liang katak besar. Wilasita yaitu liang kumbang. Guwa yaitu ruang pertapaan yang sepi. Lodra yaitu saluran air. Gatra yaitu liang riang-riang. Leng artinya liang semut. Rong yaitu liang ular. Song yaitu lubang landak. Trus yaitu pintu belakang atau pintu tembus untuk keluar melalui belakang rumah. Babahan yaitu lubang galian pencuri. Babahan hawa sanga yaitu sembilan lubang pada tubuh manusia.
10: boma yaitu rumput mati. Sunya artinya sepi. Gagana artinya langit yang dilalui awan. Barakan artinya tidak tampak, tidak berwujud. Adoh artinya jauh. Di langit ada sesuatu, tetapi tak terlihat atau tidak dapat dilihat dengan mata. Windu artinya pertemuan tahun. Di angkasa langit tertutup awan yang mengandung titik air. Widik-widik artinya langit, kadang-kadang kelihatan, kemudian hilang, meloncat kosong, semua yang dipandang hilang. Belalang kerjanya meloncat ke atas. Bunyi hos, berarti menghalau supaya pergij, maka bernilai sepuluh.
Bunyi kata-kata itu tertentu. Pertama-tama bagi satuan, kemudian puluhan dan seterusnya. Ucapan satuan jatuh pada akhir.
Di dalam kitab Candrageni yang berbentuk kakawin dengan tembang Kusumawicitra itulah keterangan tepatnya candrasengkala. Hitungannya duabelas. Tercertitakan, kitab tersebut karangan Empu Wilasaya, seorang pendeta besar yang berpengetahuan luas di negeri Purwacarita, atas kehendak raja Widhayaka yang terkenal dengan nama Aji Isaka.
Watak satu:
Rupa: artinya wujud, yaitu pancaran cahaya yang menjadi wataknya juga. Adapun cahaya itu menjadi tanda kehidupan bagi seluruh makhluk.
Candra: sebagai bulan purnama, tanggal lima belas yang menjadi wataknya, yakni sesuai dengan cerita kuna pada saat Dewi Sri turun dengan menyebarkan biji yang nantinya menjadi benih manusia.
Sasi Lek: bertambah menjadi pelengkap, yaitu hitungan sebulan penuh. Oleh karena itulah menjadi watak satu, bersatu seperti semula hingga terjadi rembulan (sitangsu), sekali lagi menjadi awal mula.
Nabi: artinya pusar/pusat (wudel; jw.), dipergunakan penyandi tanda pertama pada saat bayi sudah terlepas pusatnya, barulah diberi nama.
Sasa: artinya bintang, berwatak satu karena bentuknya yang tersebar di setiap penjuru satu-satu tampak dari bumi, dan namanya sama, yaitu bintang.
Dhara: berarti perut. Berwatak satu karena tugasnya menerima sari segala rasa yang pada hakekatnya satu.
Bumi: berarti tanah, tanah menjadi watak satu karena menyebabkan tumbuhnya segala macam biji tetumbuhan.
Buddha: berarti purus, 'urat zakar' atau unggul, yakni yang menjadi benih-biji manusia, itu sebabnya berwatak satu.
Ron atau godhong: berarti 'daun', awal mula cahaya daun berwatak satu karena daun merupakan tanda hidupnya segala tetumbuhan itu berarti bijinya hidup, dan jika daun tidak kelihatan berarti mati.
Medi jubur: artinya 'dubur', yaitu sebagai jalan keluar kotoran dari perut.
Buntut: 'ekor', dimaksudkan pangkal ekor, jelas hanya satu.
Dara: 'burung dara', yaitu burung yang terbiasa berlindung pada manusia, maka burung dara mempunyai watak satu.
Janma atau wong: 'orang', berlambang nilai satu, karena merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang utama.
Eka: 'tunggal, satu' atau kata bilangan yang menunjuk arti nilai satu. Sedangkan badan anak yang dimaksud ialah anak dan badan (tubuh) yang tunggal, berasal dari kejadian biji. Adapun 'tanah pasir' termasuk golongan kata yang memang demikianlah wujudnya yang khas.
Watak satu bisa jadi aneh wujudnya, seperti kata:
Wani: 'berani' artinya berani karena sifat utamanya maka berwatak satu.
Surya: 'matahari' berwatak satu karena sinarnya menerangi wujud di segala penjuru hingga jelas terlihat.
Kata-kata yang berarti utuh atau keutuhan, mempunyai watak satu karena keutuhannya yang pekat wujudnya, nyata benar ketunggalannya, seperti makna kata nyata, 'benar' dan temen 'jujur' juga berarti satu.
Watak dua:
Netra: 'mata, penglihatan', berwatak dua karena dari watak kewajibannya, yaitu memejam dan membuka (mata). Kata caksu dan pasuluhan, 'ujung mata di dekat hidung dan pangkal mata/sudut mata' juga berwatak dua karena masing-masing mempunyai kotoran berupa tahi mata dan air mata.
Nayana: 'air muka' atau ulat, 'air muka dan kerling mata' sesungguhnya air muka itu berpangkal pada dua hal, yakni baik dan buruk.
Sikara: 'bahu', dan tangan mempunyai dua kewajiban, yaitu menggenggam dan mengembang, maka berwatak dua.
Buja: 'lengan' bahu memang berwatak dua karena dua fungsinya, yaitu mengatupkan gigi dan mengangakan mulut.
Drasthi alis: 'alis', berwatak dua karena mempunyai dua macam tugas yakni mengamankan kedua belah mata serta menghias keindahan roman muka.
Ama atau pasu: 'batang hidung', tulang pangkal hidung antara dua belah mata, mempunyai watak dua karena mendampingi kedua belah mata.
Locana: 'pupil mata', yaitu orang-orangan mata yang menggerakkan mata kanan dan kiri, itulah sebabnya mempunyai watak dua, dan mampu menggerakkan bulu mata. Terbukanya bulu mata, pertama menjadi penglihatannya, kedua mengatupkannya bulu mata, sebagai pelindung mata dari segala kotoran.
Carana: 'hiasan' artinya athi-athi, 'anak rambut di pelipis', watak dua karena anak rambut sebagai penghias muka, pertama, mengalirkan sinar kewibawaan, kedua, mempertajam pandangan mata.
Karna atau talingan: 'telinga'. Pada jaman dahulu telinga dihias dengan sumping dan subang, itu sebabnya berwatak dua.
Karmi: yaitu lebar telinga yang memuat watak dua karena mampu menangkap maksud ujaran dan rasa kata sekaligus. Sedangkan anebah, artinya kelopak mata di bawah bulu mata, di atas orang-orangan mata. Mempunyai dua watak karena mengatur terang dan gelapnya mata, pertama, mengatur terbukanya mata ketika jaga (bangun), kedua, mengatur pejaman mata di kala hendak tidur.
Talingan: 'pendengaran telinga yang sesungguhnya', mempunyai watak dua karena bisa mendengarkan dua hal, baik dan buruk. Dan mata, yang dimaksud adalah lebar penglihatan mempunyai watak dua karena memelihara dua macam kemampuan melihat dengan kejap-kejap mata atau berputarnya bola mata yang hijau warnanya, dan yang kedua kilat atau manik-manik mata yang berwarna putih.
Len tangan artinya tepukan, masukan sedih dan senang, dan bulu sayap, oleh karenanya juga berwatak dua, sebab bisa mebuka mengembang dan merapat menutup. Fungsinya sebagai pencegah dingin dan daya kekuatan terbang.
Nembah, 'menyembah', mengatupkuncupkan kedua belah telapak tangan sambil bersujud duduk meratapkan kedua telapak kaki juga berwatak dua.
Berwatak dua pula tingkah lakunya yang berkecenderungan dengan rasa di dalamnya.
Watak tiga:
Bahni 'api', yang dimaksud api pada perapian pandai besi. Kata bahni bernilai tiga, karena terjadinya api itu berasal dari tiga hal. Pertama, api terjadi karena gesekan pemantik api. Kedua dengan sarana arang. Ketiga, karena ulah angin yang ditiupkan pada ububan. Pawaka 'api', yang dimaksud api dari puncak gunung. Kata pawaka bernilai tiga, sebab berasal dari tiga hal. Pertama, api dari belirang. Kedua, api dari dupa perapian dalam pemujaan dan persamadian. Ketiga, perapian penangkal kedinginan. Siking 'api', yang dimaksud upet atau tunam. Kata siking bernilai tiga karena upet atau tunam itu ada tiga macam, yaitu seludang kelapa, sabut kelapa, dan bunga keluih. Guna, 'api gesekan', terjadi dari tiga hal, dari panas asap, serat alat dan kaul atau rabuk (benda lembut yang mudah terbakar). Dahana 'api', yang dimaksud nyala api. Kata dahana bernilai tiga, karena terjadinya api oleh tiga hal. Pertama, karena desakan udara dengan panas bumi. Dua, karena desakan batu belirang yang berantakan dan menimbulkan nyala api. Kata brana 'luka', pyu 'api' dan paparangan 'pertempuran', masing-masing mempunyai nilai tiga, karena adanya tiga macam sebab. Yaitu karena kesaktian, pertemuan senjata dan sebagainya, serta pembakaran jenazah di medan perang. Kata uta artinya 'lintah' bernilai tiga, lintah bergigi bawah dua dan bergigi atas satu. Tiga gigi itu berguna untuk berpegang, bergerak, dan dapat untuk mencium bau-bauan. Kata ujel artinya 'belut', bernilai tiga, karena mempunyai tiga macam sifat dan daya. Yaitu licin, kuat dan daya membelit. Kata anauti artinya 'cacing', bernilai tiga karena cacing mempunyai tiga macam kemampuan, yaitu melingkar, menjulur dan berkerut. Kata jatha artinya 'api dari tempat perapian'. Kata itu mempunyai nilai tiga, karena perapian terdiri dari api arang, api atau nyala api pada tempat perapian, dan sesuatu daya yang bermanfaat untuk membakar, memanggang dan sebagainya. Api dapur mempunyai tiga pengertian, yaitu api yang hadir karena kayu, tungku dan alas perapian. Kata nalagi artinya 'api panas hati'. Kata itu bernilai tiga,karena hati panas terjadi oleh tiga sebab. Yaitu karena pengabaran 'pemberitaan', pengobong 'pembakar' karena benci, dan pengumbar hawa 'menuruti hawa nafsu marah'. Kata utawaka artinya 'api pemanggang', bernilai tiga karena api pemanggang terjadi oleh tiga unsur. Yaitu kayu, arang dan sujen 'bambu cocok'. Kata kayalena artinya blubukan 'api abu', bernilai tiga karena api abu berguna untuk tiga keperluan. Yaitu untuk ngepes 'membungkus dan membenamnya dalam api abu', mbenem 'memendam sesuatu dalam api abu', dan mbakari 'memasak sesuatu dalam bara api'. Api diyan 'dian, lampu' mempunyai nilai tiga, karena cahaya api itu mempunyai tiga warna, yaitu biru, kuning, dan merah. Akhirnya perlu diketahui geni thithikan 'api yang muncul dari pantikan batu api'. Kata itu mempunyai nilai tiga, karena api itu terjadi oleh batu api, kawul 'benda lembut yang mudah menyala' dan besi baja untuk penggosok atau pemantik.
Watak empat:
Wedang, 'air panas'. Memiliki empat daya, yaitu daya membuat masak, mendidih, bergerak dan berdesir. Sagara 'laut' tempat berkumpul air. Air laut berasal dari empat tempat. Yaitu dari sumber air sungai, air bengawan, air mancur, dan air hujan. Air sumur mempunyai empat kegunaan. Yaitu untuk pangangson 'tempat mengambil air', padusan 'tempat mandi', pengasahan 'tempat mencuci barang-barang' dan pangumbahan 'tempat mencuci pakaian'. Sukci 'air padasan' berguna untuk bersuci dengan berkumur, membasuh muka, dan mencuci tangan dan kaki. Jaladri 'air bergenang'. Air bergenang itu asalnya dari air hujan, air sungai, air yang terbit dari mata air dan air bengawan. Air sungai mempunyai nilai empat, karena sungai menjadi tempat membersihkan badan dengan jalan mandi, menjadi tempat cuci-mencuci, airnya untuk masak-memasak dan memberi minum hewan. Her yaitu 'air puncak gunung', bernilai empat karena di puncak gunung didapat empat macam air, air yang muncul dari bumi, air mancur dan air sumber. Samodra artinya 'air yang mengelilingi dunia'. Empat penjuru dunia dikelilingi samodera, semua dialiri air laut. Jalanidhi yaitu air yang berasal dari hujan, sungai, mata air dan bengawan. Warna yaitu air yang berasal dari hujan, sungai, dan air itu berasal dari rembasan mata air. Toya yaitu 'air pasu' atau 'air jambang' yang berguna untuk membersihkan tubuh dengan mandi, cuci muka, cuci badan, cuci tangan dan kaki. Wahana yaitu 'air hujan' yang berasal dari empat benda yaitu asap api, uap tumbuh-tumbuhan, uap air dan uap bumi. Semua itu sekarang disebut air curah hujan. Air terjadi karena panas, tiupan angin, unsur sinar matahari dan uap embun. Sindu artinya 'air susu'. Kata sindu mempunyai nilai empat, sebab terjadinya air susu karena empat hal. Yaitu karena jamu, bayu 'kekuatan urat', wuwung 'mandi dengan disiram kepalanya' dan sari makanan. Warih artinya 'air kelapa'. Air itu dihantar empat tahap, yaitu sejak bluluk 'mumbang', cengkir 'kelapa muda berlendir', dawegan 'kelapa muda berdaging lunak' dan krambil 'kelapa tua'. Tasik 'air akar, terjadi karena daya tarik, karena empat macam pangkasan akar yang kemudian menjadi air keringat. Itu semua berasal dari panas, angin, air dan tanah. Empat macam air yang dimaksud yaitu air di empat penjuru dunia. Empat penjuru dunia itu berisi air samodera. Jaman yoga terdiri dari empat macam jaman, yaitu jaman tirta, dwara, kali dan karta…
Watak lima:
Buta 'raksasa' , termasuk lima bangsa, yaitu seluman, 'makhluk halus', sebangsa makhluk terbang, sebangsa hewan, dan sebangsa hewan air. Lima jenis makhluk itu dapat bersatu dengan manusia. Pandhawa 'anak raja Pandhu Dewanata'. Lima anak Pandhu Dewanata itu raja Ngamarta, Raden Sena dan Permadi. Mereka saudara seayah dan seibu. Dua lainnya berasal dari lain ibu, yaitu Raden Nakula dan Sadewa. Kata tata artinya getih otot 'darah urat, urat darah'. Urat darah itu bagi penglihatan berkuasa mengatur pramana 'kejelasan pandangan', bagi kaki mengatur duduk atau berjalan, bagi kemaluan mengatur rasa. Kata gati artinya 'denyut', bertempat di pangkal tenggorok, dada, pergelangan tangan, pergelangan kaki dan kemaluan. Endri 'air mata', cairan yang berasal dari hidung, telinga, muka dan hati. Yaksa artinya danawa wadon 'raksasa betina', ia bertaring. Raksasa banci mempunyai lima watak sebab menjadi pemuka empat bupati raksasa dan berjumlah lima bersama dirinya. Sara artinya 'tajam'. Pada jaman dahulu senjata yang disebut sara itu bermuka lima. Maruta 'angin', angin membawa lima bau bunga. Yaitu bunga hujan dari dewa, bunga merah dari taman bunga, bunga bago, bunga sanggul dan bunga jemrik. Pawana artinya 'angin deras'. Angin itu berasal dari empat penjuru angin dan dari atas. Bana 'hutan besar', mempunyai nilai lima karena ular, harimau, serigala, raksasa dan banteng. Margana artinya 'angin di jalan besar', yaitu napas yang keluar dari pancaindra. Samirana artinya 'angin yang membuang keringat di lima tempat, yaitu di dahi, bahu, dada, punggung dan kaki. Warayang artinya 'senjata'. Senjata itu bermata empat dan berujung satu. Bayu adalah nama dewa. Dewa Bayu beranak lima, yaitu raksasa Jajahwreka, Anoman, gunung Maenaka, gajah Setubanda dan Bratasena. Wisikan artinya 'ajaran guru'. Ajaran guru ada lima bab, yaitu kehadiran lima tempat. Gulingan artinya 'tempat tidur'. Orang tidur bersatu lima inderanya. Akhir keterangan yaitu kata-kata siji 'satu', loro 'dua', telu 'tiga', papat 'empat', dan lima 'lima'.
Watak enam:
Sadrasa mempunyai maksud, bahwa yang dinikmati orang ada enam hal, yaitu rasa yang berasal dari nasi, daging, biji-bijian, dedaunan, tumbuh-tumbuhan yang dipangkas atau disadap, dan buah-buahan. Winayang 'labah-labah air'. Binatang itu berkaki enam. Gana 'lebah'. Pada musim keenam lebah bekerja habis-habisan mengumpulkan madu untuk anak-anaknya. Retu 'campur', yaitu campuran keenam keinginan yang tumbuh dari semangat pribadi, hati, kemaluan, penglihatan, tangan dan kaki. Hoyag 'getar', yaitu getaran yang berasal dari sikap berdiri, memandang, mendengar, membau dan merasakan dengan seluruh tubuh. Karengya 'didengar', orang mendengarkan bisikan atau ilham, menerima ajaran baik, memperhatikan kata-kata manis, memperhatikan kata-kata sanjungan. Nama enam jenis buah-buahan yaitu pala kasimpar 'buah terserak: mentimun dan sebagainya, pala baruwah 'buah untuk makan orang yang berpuasa' atau pala kapendhem 'buah terpendam: ubi dsb', pala gumatung 'buah bergantung: mempelam dsb', pala wija 'buah berbiji: kacang dsb', pala kucila 'buah terasing: kelapa dsb'. Pala kirna 'buah bersebar: randu dsb'. Tahen 'kayu tahun', yaitu pohon yang ditebang untuk kayu bakar. Pra batang yaitu pohon tumbang yang melintang di jalan. Bila disimpulkan kayu itu mempunyai enam sifat dan pasti mempunyai enam kegunaan, yaitu untuk tiang dan kerangka rumah, perlengkapan rumah tangga, arca kayu, tempat mendudukkan barang dan untuk kayu bakar. Kilat 'lidah api' atau 'api halilintar'. Enam rasa yaitu kecut 'masam', pedas, pahit, gurih, asin, dan manis.
Watak tujuh:
Ardi 'gunung yang berdiri di sepanjang pantai'. Gunung berisi tujuh macam benda. Yaitu batu, gua, jurang, batu padas, air mancur, lereng dan tumbuhan. Turangga 'kuda', mempunyai tujuh macam pakaian, yaitu kendhali 'kekang', apus 'tali', salebrak 'alas pelana', sanggawedhi 'injak kaki', amben 'tutup perut', ca-methi 'cemeti'. Giri 'gunung besar'. Gunung itu menjadi kandang suara atau gema suara. Resi 'pendeta suci', berpegang pada tujuh macam kesucian, yaitu temen 'jujur', enggan berbuat jahat, enggan berbohong, enggan berbuat yang berbahaya, enggan sanjungan, enggan sesuatu yang kotor, enggan kepada segala perbuatan yang munafik. Angsa artinya banyak 'angsa', banyak suara atau cerewet. Biksuka 'lembu', pada jaman dahulu lembu menjadi kendaraan para biksu atau pendeta. Aldaka 'kaki gunung', mempunyai tujuh ujung bukit. Ibarat kendaraan mempunyai lambung, lubang dan siku kaki. Himawan 'awan', bertempat di puncak gunung, berasal dari tujuh macam uap, yaitu uap dari pendinginan bumi, uap tumbuh-tumbuhan, uap kayu yang dibakar, uap dari barang yang dimasak, uap dari bualan air, uap dari perapian, dan uap dari perdupaan. Pandhita 'pendeta' ada tujuh macam sesuatu yang dimiliki, dipakai, atau dikenakan, yaitu janggut, cunderik, terbus, jubah, selendang, terumpah dan tongkat. Gora swara muni 'suara bunyi dahsyat', tujuh sumber bunyi, yaitu air, bumi, api, angin, halilintar, dan hujan. Bunyi timbul karena ulang tujuh macam bunyi itu. Swa 'kuda', geraknya ada tujuh macam, yaitu nyongklang, medhar, adhean, njojrog, ngawal, nyirig, dan nyander..). Kendaraan untuk mendaki gunung dan pegunungan ada tujuh macam. Antara lain kuda kebiri, lembu belang hitam putih, pedati, kisruki…), kerbau dan jodhi 'tandu'. Wiku yaitu pendeta yang menerapkan tujuh macam ilmu, yaitu ilmu penakluk, ilmu pengasihan, ilmu menghilang, ilmu sopan santun, ilmu tafsir, ilmu nujum, atau ilmu ramal dan ilmu penenang.
Watak delapan:
Naga 'ular besar', mempunyai delapan kekuasaan atau kesaktian, yaitu menyemburkan bisa, menggigit, bergerak, membelit, tahan hidup di dua tempat, mengelupas delapan kali, hidup dari minyak yang berada di ujung ekor. Ada perhitungan baik buruk yang disebut panagan 'tempat kedudukan naga' atau pasaweran 'tempat kedudukan ular'. Yaitu perhitungan yang disebut naga taun, jatingarang, naga wulan, naga pasangaran, naga larangan, naga pangkalan, dan naga dina pasaran..). Slira yaitu binatang yang disebut biawak. Biawak mempunyai kekuasaan dan kesaktian, mampu berjalan di air dan di darat, memanjat dan masuk liang, gemar berpuasa, mengelupas dengan selamat, dan waspada terhadap golongannya. Basu 'tokek', mempunyai kemampuan dan kesaktian delapan macam. Yaitu perekat pada telapak kaki, ditakuti oleh golongannya, berhati sabar dan senang mengelana, berjalan tenang, hatinya berkhasiat untuk mengobati penyakit mengkelan dan sakit datang bulan, mempunyai zat penawar racun, kulitnya dapat mengelupas dan menjadi muda kembali. Tanu 'bunglon'. Mampu menyesuaikan warna kulitnya dalam delapan warna, yaitu merah, hitam, kuning, putih, hijau, biru, kelabu, dan ungu. Murti 'cecak', mempunyai delapan macam kemampuan dan kesaktian, yaitu melekat, memanjat, membela diri, menyelamatkan diri, cekatan berjalan dan berlari, mengeliukkan tubuh dan berganti kulit. Kunjara 'gedung tempat orang hukuman', pada jaman dahulu orang dipenjara dalam batas waktu delapan bulan. Gajah yang tinggal di hutan. Dwipangga yaitu gajah yang dikendarai raja. Perlengkapan raja ada delapan macam, yaitu alat berhias, kalung, alas pelana, kain tutup perut, angkus, rantai, patok pengikat dan pemelihara. Esthi yaitu gajah yang dibawa pesiar. Samadya yaitu gajah di jalan, manggala yaitu gajah pemuka perang, dwipara yaitu gajah yang dibawa untuk bercengkerama raja. Bujangga 'ulat besar', kekuasaannya sama dengan naga. Brahmana, pada jaman dahulu tanah Jawa didatangi delapan brahmana 'berahmana'. Pengatur brahmana itu bernama Ajisaka. Semua brahmana ditugaskan mengajarkan segala macam pengetahuan menurut Asthabrata..). Liman yaitu 'gajah di tonggak pengikat'. Ula 'ular' sama dengan naga.
Watak sembilan:
Trustha 'lubang senjata', trusthi 'lubang sumpit', muka 'dahi', gapura 'pintu raja', wiwara 'ruang serambi', dwara 'pintu rumah dan pekarangan'. Pintu bertopang pada sembilan bagian, masing-masing sama ukurannya. Nanda ialah liang katak air, wilasita ialah liang kumbang, guwa ialah rongga kosong, rago 'liang kosong', gatra 'lubang tempat tinggal riang-riang', leng ialah tempat tinggal ular, rong ialah tempat sembunyi kepiting, song ialah rongga tempat tinggal landak, terusan ialah terowongan atau lubang tembusan. Babahan ialah lubang yang digali oleh pencuri. Hawa sanga yaitu lubang hawa pada tubuh manusia. Lubang hidung seperti lubang sepasang sumpit, lubang mata pada muka, mulut ibarat pintu rumah dalam. Kerongkongan ibarat rongga tempat tinggal binatang berdasar sebab mereka kerasan di tempat itu pada musim sembilan. Maka kata yang mengandung atau mempunyai rongga termasuk bilangan sembilan.
Watak sepuluh:
Boma 'rumput mati', sonya 'kosong', gagana 'kosong', barakan 'samar-samar dan jauh'. Langit 'angkasa', maksudnya ada tetapi sebenarnya tidak ada. Pada jaman dahulu ada sepuluh nama windu dan disebut windu sangkala. Semua ada sepuluh macam, yaitu Tirta, Maruta, Pranala, Pratala, Bala, Byantara, Manta, Kartala, Suribta, Gurita. Langit adanya di angkasa. Yang ada di angkasa yaitu matahari, bulan, bintang, mega, kilat, awan, guntur, angun, hujan, dan bianglala. Yang ada di angkasa itu berwujud suara yang dapat didengar dan berwujud sesuatu yang dapat dilihat di bumi. Kata widik-widik artinya 'samar-samar', maletik 'melompat ke atas', sirna 'hilang' ke angkasa menjadi tidak berwujud. Semua kata yang mempunyai nilai nol yaitu yang hilang dan tidak terlihat wujudnya. Walang 'lepas', kos 'kosong'.
Kata yang bernilai sepuluh adalah yang mengandung makna jauh, tidak jelas, kosong, samar-samar, hilang dan tinggi. Makna diambil dari pengertian, bahwa bundaran angka nol sungguh tidak ada sesuatunya yang berwujud, hanya lingkaran saja, artinya kosong.
Selesailah keterangan dari kitab Candrageni, tetapi orang harus tahu kata-kata kawi dalam Sangkala 'kelompok kata atau kalimat yang mempunyai makna angka tahun'. Ada kata kawi 'sanjak' dan kawya 'penyair'. Rupa dan warna sama artinya, tetapi bagi sangkala rupa juga berarti watak. Warna bernilai empat. Kata ningali dan uniga artinya 'tahu', bagi kata kawi sama artinya, tetapi bagi Sangkala ningali mempunyai nilai angka dua, kata uninga bernilai tiga. Kata suta dan yoga artinya 'anak'. Bila ditinjau sebagai kata kawi artinya sama, bagi Sangkala berbeda. Kata suta mempunyai nilai satu, kata yoga mempunyai nilai empat. Itulah beda kata kawi dalam Sangkala dan dalam bahasa sehari-hari.
Hal 165-181
Ranggasutrasna, Ng, dkk. 1991. Centhini Tambangraras-Amongraga. Jakarta: Balai Pustaka.
1. Sejarah dan Prasejarah
Bahasa Jawa Kuno
Bahasa Jawa Kuno dipergunakan pada paruh kedua abad pertama Masehi.
Perkiraan ini didasarkan pada penemuan prasasti Sukabumi yang dikeluarkan pada tanggal
25 Maret 804. Hingga saat ini, prasasti ini merupakan bukti tertua penggunaan
bahasa Jawa Kuno yang telah ditemukan. Sedangkan prasasti-prasasti lain yang
telah ditemukan dan lebih tua dari pada prasasti Sukabumi, ditulis bukan
menggunakan bahasa Jawa Kuno, melainkan dengan bahasa Sansekerta. Bukti-bukti
tertulis yang lebih muda dari itu ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno.
Maka dari itu, berdasarkan data-data yang tersedia hingga saat ini, diambil
kesimpulan bahwa bahasa Jawa Kuno dipergunakan sejak tahun 804 dan masa-masa
sebelum itu merupakan masa prasejarah.
Pengetahuan mengenai bahasa Jawa Kuno belum begitu banyak. Sebabnya adalah
tidak tersedianya bukti-bukti penggunaan bahasa tersebut. Rentang waktu yang
cukup panjang menyebabkan bahan yang digunakan untuk menulis pada saat itu
tidak tahan lama. Bahan-bahan yang awet seperti perunggu atau batu hanya
digunakan untuk mengabadikan dokumen-dokumen resmi sangat penting yang
berpengaruh pada generasi yang akan datang. Itulah mengapa sulit ditemukan
bukti tertulis bahasa Jawa Kuno.
Hambatan
tersebut mendorong digunakannya jalan lain untuk mempelajari bahasa Jawa Kuno. Yaitu dengan mencari
informasi dari naskah-naskah yang bukan berbahasa Jawa Kuno namun menggambarkan kondisi di Jawa pada saat itu. Adapun sumber
yang ada sangkut pautnya dengan Indonesia dan dapat memberikan informasi
mengenai keadaan Jawa pada saat itu adalah sumber-sumber dari Tiongkok. Pada
abad ke-7, banyak peziarah Cina yang melakukan perjalanan ke India, tujuannya
adalah mengunjungi tempat-tempat suci agama Buddha dan mempelajari agama itu.
Indonesia sering dijadikan tempat singgah. Kadang mereka malah menyempatkan
diri meluangkan waktu beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun untuk
mempelajari agama Buddha di Indonesia. Untuk tujuan itu, mereka mempelajari
bahasa Sansekerta untuk menerjemahkan teks-teks yang berhubungan dengan agama
Buddha ke bahasa Cina.
Sangat memungkinkan, bahwa dalam proses mempelajari bahasa Sansekerta,
bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar adalah bahasa pribumi yang
digunakan sehari-hari. Walaupun bahasa Sansekerta sangat mempengaruhi
bahasa-bahasa di nusantara pada saat itu, namun tidak terdapat tanda-tanda
digunakannya bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Yang harus kita
ketahui selanjutnya adalah bahasa apa yang digunakan pada saat itu.
Sumber-sumber Tiongkok menyebut bahasa itu dengan kata k’un lun. Kata
ini digunakan untuk menyebut beragam bahasa di nusantara. Mungkin bagi mereka
bahasa-bahasa tersebut terdengar sama, karena kemiripan ciri linguistik yang berdekatan dan mengandung banyak kosakata dari bahasa
Sansekerta. Sekian saja keterangan yang didapatkan mengenai masa pra-sejarah
bahasa Jawa Kuno.
Pada tahun 804, bahasa Jawa Kuno telah berkembang selama berabad-abad dan
muncul sebagai bahasa yang digunakan dalam sarana tulis. Perkembangan ini terus
berlanjut hingga pada abad ke-15 bahasa Jawa
Kuno telah matang sebagai bahasa
kesusastraan.
Bahasa Jawa Kuno yang merupakan salah satu bahasa nusantara termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia. Di antara bahasa-bahasa Nusantara lain yang lebih tua, bahasa Jawa Kuno
memiliki tempat yang istimewa karena memiliki karya sastra tertulis yang lebih
tua, yaitu berasal dari abad ke-9 dan ke-10, sedangkan bahasa lain seperti
Sunda dan Minangkabau karya sastra tertuanya berasal dari tahun 1600-an. Dari
sebutannya, kita dapat mengetahui bahwa bahasa ini merupakan bentuk bahasa Jawa
yang tertua.
Bahasa Jawa Kuna memiliki dua sifat yang nampak. Pertama, banyak mendapat
pengaruh dari bahasa Sansekerta. Pengaruh ini terutama pada kekayaan kosakata.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perbandingan kosakata bahasa Sansekerta
yang digunakan dalam bahasa Jawa Kuno begitu besar, melebihi perbandingan
kosakata Sansekerta pada bahasa nusantara lainnya. Meskipun berasal dari rumpun yang berbeda dan memiliki
ciri linguistik yang berbeda, namun pengaruh yang kuat dari bahasa Sansekerta tidak sampai merubah
karakteristik bahasa Jawa Kuno, melainkan malah memperkaya kosakatanya.
Mengenai bagaimana masuknya pengaruh dari India ke Jawa tidak dapat diketahui
secara pasti, namun hanya dapat diperkirakan berdasarkan pengkajian informasi.
Ada beberapa pendapat yang mencoba menjelaskan perihal ini. Yang paling banyak
diyakini para sarjana adalah penjelasan bahwa pengaruh India dibawa oleh para
pedagang dan lambat laun bercampur dengan pribumi. Pendapat lain mengatakan
bahwa kasta kşatria yang bertualang, menanamkan kekuasaan dan menjadi
raja di Jawa. Kemungkinan
lain adalah banyaknya ulama-ulama
yang menebarkan pengaruhnya pada raja-raja dan kalangan keraton atau kalangan
terpelajar.
2. Pengaruh India Terhadap Bahasa Jawa Kuno, Peranan Bahasa Sansekerta
Pengaruh India yang paling besar adalah pengaruh dari bahasa Sansekerta.
Pada masa ketika Jawa mulai mendapat pengaruh yang besar, bahasa Sansekerta
sudah tidak digunakan sebagai bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari.
Bahasa ini adalah bahasa sastra, dan hanya digunakan lapisan atas masyarakat,
istana, dan dalam acara keagamaan. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari
terdapat beberapa bahasa daerah yang digunakan di tempatnya masing-masing.
Mengingat begitu banyaknya pengaruh, terutama dalam hal kosakata bahasa
Sansekerta terhadap bahasa Jawa Kuno, maka akan terlihat suatu kejanggalan.
Yakni dari mana pun pengaruh dari India datang ke Jawa, pada masa itu tidak
seharusnya bahasa Sansekerta digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga
tidak seharusnya masyarakat Jawa pada saat itu mengetahui cara pengucapan
kosakata bahasa Sansekerta yang banyak mereka tiru. Walaupun kita juga tidak
mengetahui bagaimana cara pengucapan bahasa Jawa Kuno oleh masyarakat pada saat
itu. Kita hanya mengetahui perihal bahasa Jawa Kuno dari bukti tertulis.
Sehingga kita hanya mengetahui bahasa Jawa Kuno sebagai bahasa sastra. Namun
kemungkinan bahwa terdapat bahasa lain atau bentuk lain bahasa Jawa Kuno yang
digunakan untuk percakapan sehari-hari kurang dapat diterima.
Ada hal lain yang menarik perhatian dalam penyerapan bahasa Sansekerta pada
bahasa Jawa Kuno. Kategori kata yang dipinjam dari bahasa Sansekerta hampir
semuanya termasuk dalam kategori kata benda dan kata sifat. Kata-kata itu
kemudian diperlakukan tidak sesuai dengan aturan bahasa asalnya, namun sesuai
dengan tata bahasa Jawa Kuna. Misalnya adalah kosakata bahasa Sansekerta yang
dibubuhi afiksasi Jawa Kuna.
Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pengaruh asing masuk ke dalam bahasa
Jawa Kuno sedemikian rupa sehingga tidak merubah sifat asalnya. Di sisi lain,
penyerapan bahasa Sansekerta tidak pernah disertai dengan perubahan fonetisnya.
Tidak ada bunyi-bunyi asing yang ejaannya disesuaikan dengan ejaan Jawa Kuno.
Karena kita hanya mengetahui mengenai bahasa Jawa Kuno melalui sumber tertulis,
maka kita juga hanya dapat mengetahui perihal ejaan ini dari cara penulisannya.
Ejaan yang tidak terdapat pada bahasa Jawa Kuno seperti bunyi-bunyi beraspirasi
(kh, th, ph, dan sebagainya), vokal panjang dan pendek (a-ā, i-ī),
perbedaan bunyi ai dan e, serta perbedaan desis (ś, ş, dan s) tetap ditulis apa
adanya. Kemungkinan ini disebabkan karena keinginan untuk menyamakan dengan
aslinya.
Sebenarnya tidak diketahui alasan penggunaan sebagian dari bahasa Sansekerta pada bahasa Jawa Kuno. Tidak ditemukan keperluan untuk
mengadakan perubahan pada bahasa Jawa Kuno. Namun bahasa Sansekerta merupakan
bagian yang penting dari kebudayaan baru yang ingin mereka miliki. Sastra
Sansekerta dianggap sebagai mode, untuk dicontoh dan ditiru sambil dipungut
kosakatanya. Dapat menggunakannya berarti meninggikan gengsi. Alasan lain yang
mungkin adalah kebutuhan para sastrawan pada saat itu untuk memperkaya
kosakata, untuk kepentingan pemenuhan aturan-aturan ketat pada puisi Jawa
tentang rima dan laras.
Dalam penyerapan suatu bahasa pada bahasa lain, sangat mungkin terjadi
adanya beberapa perubahan, misalnya perubahan semantis, sehingga tidak sesuai
dengan arti pada bahasa asalnya. Perubahan ini dapat terjadi karena adanya penyesuaian dengan keadaan
lingkungan pada masing-masing bahasa yang berbeda. Proses perubahan ini terjadi
secara bertahap, dan akan semakin mudah bila kontak dengan bahasa asal semakin
kecil. Perubahan semantis kata-kata asli Sansekerta lebih sering terjadi
seiring dengan makin berkurangnya pengaruh India terhadap bahasa dan kebudayaan
Jawa. Dari sini kita dapat memperkirakan umur suatu naskah berdasarkan
bahasanya, semakin jarang kata-kata Sansekerta, semakin muda teks tersebut.
Namun patut pula diperhitungkan kemungkinan bahwa perubahan semantis itu
terjadi di tempat asalnya.
Pengaruh bahasa Sansekerta pada saat itu tidak hanya tertanam di Jawa. Di
daerah Nusantara yang lain pun juga terjadi. Contohnya di Campa, jenis-jenis
sastra klasik Sansekerta dipelajari dengan mendalam, sehingga sastra pribumi
diabaikan. Sebenarnya sumber-sumber teks sastra di Jawa pada masa itu tidak
begitu banyak yang ditemukan, namun bila dibandingkan dengan sumber dari Campa
pada masa yang sama, dapat diketahui perbedaannya. Teks Jawa ditulis dengan
menggunakan bahasa Jawa Kuno dan tidak ditemukan sama sekali teks yang
menggunakan bahasa Sansekerta. Sedangkan teks dari Campa malah menggunakan
bahasa Sansekerta seluruhnya, dari pada menggunakan bahasa pribumi dengan
pengaruh Sansekerta. Jadi, bila yang terjadi di Campa adalah dilupakannya sastra pribumi, maka di Jawa pengaruh dari India malah memperkaya dan memperkuat adanya sastra pribumi.
Meskipun begitu, kita tidak dapat menyimpulkan bahwa di Campa tidak
terdapat kebudayaan pribumi selain pengaruh dari India. Tidak ditemukannya
bukti-bukti keberadaannya kemungkinan terjadi karena kondisi tertentu yang
menyebabkan bukti-bukti tersebut tidak bertahan. Mungkin karena bahannya yang
memang tidak dapat bertahan hingga berabad-abad, atau mungkin juga karena
kondisi historis di daerah tersebut yang sering mengalami peperangan hingga
sulit mempertahankan benda-benda budayanya.
Yang dapat diketahui hingga saat ini adalah, walaupun sulit menemukan bukti
tentang keberadaannya, kita telah mengetahui bahwa sastra Jawa Kuno tetap
bertahan, dan adanya pengaruh dari India bukannya melemahkan, malah memperkaya
sastra Jawa Kuno.
3. Kerangka Historis Sastra Jawa Kuno
Bila sastra Jawa digolongkan berdasarkan periodesasi, maka dari cara
penyebutannya, kita dapat memperkirakan bahwa Jawa Kuno merupakan periode
paling awal, yaitu sekitar abad ke-9. Walaupun sebenarnya tidak dapat diketahui
secara mutlak kapan suatu karya dibuat, karena dalam suatu karya tidak pernah
dicantumkan tanggal pembuatannya. Yang paling mungkin ialah penyebutan kapan
karya tersebut dibuat, namun dari petunjuk yang ada tetap saja tidak dapat
diketahui tanggal pasti pembuatannya, kadang hanya dapat diperkirakan abadnya,
atau malah hanya periodenya saja.
Pada sekitar abad ke-9, pusat kekuasaan dan kebudayaan Jawa terdapat di
Jawa Tengah. Namun sekitar tahun 930 terjadi pergeseran pusat kekuasaan ke Jawa Timur. Kemudian kekuasaan ini pun melemah karena
beberapa sebab dan terdapat beragam peristiwa yang tidak akan dibahas secara
mendetil disini. Yang dapat disebutkan adalah bahwa akhirnya kekuasaan di Jawa
dipegang oleh pangeran yang berasal dari Bali. Menyaksikan perkembangan
kebudayaan budaya Jawa, maka penguasa di Bali saat itu menaruh perhatian, dan
akhirnya prasasti-prasasti yang dulunya ditulis dalam bahasa Bali Kuno,
kemudian dicatat dengan bahasa Jawa Kuno. Meskipun begitu, tidak ditemukan
adanya sastra Jawa Kuno yang berasal dari Bali dibuat pada masa ini.
Sejarah terus berkembang hingga tiba lah pada masa kekuasaan Majapahit.
Kerajaan Majapahit begitu kuat hingga kekuasaannya mencakup banyak sekali
wilayah di luar Jawa. Kekuasaan di Bali pun berhasil direbut. Sejak itu kebudayaan di Bali mendapat pengaruh yang sangat besar dari Jawa.
Sebaliknya, kebudayaan Jawa juga mendapat pengaruh dari budaya Bali. Jadi, Bali
juga memiliki sumbangan terhadap Jawa Kuno.
Seiring berjalannya waktu, setelah mengalami masa kejayaan yang luar biasa,
Majapahit mulai melemah. Dan ketika mulai datang ajaran agama Islam, lama
kelamaan ajaran Hindhu terdesak, begitu pula kerajaannya, sehingga masa
kebudayaan Jawa Kuno pun berakhir. Malah diperkirakan, besar kemungkinan pada
saat itu banyak peninggalan dari kebudayaan Hindhu termasuk sastra Jawa Kuno
tidak dapat bertahan, atau malah dihancurkan dengan sengaja.
Bila memang benar telah dilakukan penghancuran secara sengaja, maka alasan
yang mungkin dapat diterima adalah usaha untuk melemahkan budaya Hindhu-Budha
dan menanamkan pengaruh baru, yaitu Islam. Dari sekian banyak karya yang
dihancurkan, karya-karya besar yang banyak disukai tetap bertahan, seperti Rāmāyaņa
dan Arjunawiwāha.
Kesusastraan yang dulunya jaya, tidak dapat bertahan lagi dan hanya
meninggalkan sedikit saja peninggalan. Di Bali yang tidak mengalami perubahan
seperti yang terjadi di Jawa, dapat tetap menjaga budaya Jawa Kuno dengan baik.
Pada situasi ini lah Bali sangat berjasa hingga sastra Jawa Kuno masih dapat
diketahui hingga saat ini.
4. Bahasa Jawa Kuno dan Pertengahan; Kakawin dan Kidung; Kesusastraan
Untuk memberikan batasan yang jelas pada objek penelitian, maka perlu
dijelaskan batasan objek. Objek bahasan ini adalah Sastra Jawa Kuno, maka perlu
diberi pengertian apa yang dimaksud dengan sastra Jawa Kuno. Secara ringkas,
dapat dikatakan yang menjadi objek di sini adalah karya yang dapat dikatakan
bernilai sastra, “Jawa Kuno” dalam arti yang seluas-luasnya, dengan
mengesampingkan sastra Jawa Modern.
Bahasa Jawa Kuno yang telah disebutkan sejak abad ke-9 merupakan bentuk
bahasa Jawa yang tertua dan sangat mungkin mengalami berbagai perubahan.
Perbandingan bahasa Jawa Kuno yang digunakan pada abad ke-9 dengan abad ke-15,
ada perubahan semantis, juga perubahan gramatikal, perubahan-perubahan tersebut
sangat kecil. Sehingga dapat dikatakan karya sastra abad ke-15 masih merupakan
Jawa Kuno.
Namun bila pembandingan dilakukan antar jenis karya sastra, seperti kakawin
dengan Kidung Sunda, maka dapat ditemukan perbedaan bahasa yang cukup menonjol.
Perbedaan itu berupa perubahan gramatika dan morfologi. Karena dapat dipastikan
bahwa bahasa kakawin digunakan lebih awal dari pada bahasa kidung, maka istilah
yang digunakan untuk menyebut bahasa yang lebih baru ini adalah bahasa “Jawa
Pertengahan”. Sebenarnya istilah ini dapat menimbulkan kesan bahwa bahasa Jawa
Pertengahan adalah bahasa peralihan antara bahasa Jawa Kuno dengan bahasa Jawa
Baru, namun sebenarnya tidak mutlak seperti itu. Sayangnya hingga saat ini
belum ditemukan cara penjelasan atau penyebutan yang tepat.
Penjelasan yang dapat diberikan adalah bahwa dalam sastra Jawa Kuno dalam
arti luas, terdapat dua macam puisi, yaitu Kakawin dan Kidung. Perbedaan dari
kedua puisi ini adalah, kakawin menggunakan metrum dari India sedangkan Kidung
menggunakan metrum asli Jawa atau Indonesia. Bahasa yang digunakan pada kakawin
adalah bahasa Jawa Kuno, dan bahasa yang digunakan pada kidung adalah bahasa
Jawa Pertengahan. Namun tidak dapat dikatakan bahasa Jawa Kuno adalah bahasa
kakawin atau bahasa Jawa Pertengahan adalah bahasa kidung, karena selain puisi-puisi tersebut, ada karya sastra dalam bentuk lain (contohnya
prosa) yang menggunakan bahasa-bahasa tersebut.
Jadi, penyebutan bahasa ‘Jawa Kuno’ dan bahasa ‘Jawa Pertengahan’ tidak
menunjukkan skala waktu. Bahasa yang digunakan dalam suatu teks tidak dapat
menunjukkan umurnya. Umur suatu teks dapat dikira-kira dengan melihat bila saja
dalam teks tersebut disertakan nama seorang raja yang memerintah pada saat itu,
dan mencocokkannya dengan sejarah.
Harus diingat juga bahwa generasi yang lebih muda tetap merasa harus
menggunakan aturan-aturan Jawa Kuno yang telah berlaku sejak dulu. Ini membuat
sastra Jawa Kuno memiliki karya dari rentang waktu yang sangat lama. Demikian
juga yang berlaku pada sastra Jawa Pertengahan. Lama kelamaan, karena kontak
diantara keduanya yang makin berkurang, perbedaan semakin besar, meliputi
ketidaksesuaian gramatikal dan morfologis. Bahasa pada kidung malah terlihat
tanda-tanda Balinisme. Maka Jawa Pertengahan telah mengalami perkembangannya
sendiri.
Semakin jelas pengertian bahwa sebagian karya sastra Jawa Kuno lebih muda
dari pada sastra kidung yang merupakan Jawa Pertengahan. Banyak terdapat
ciri-ciri Bali pada Jawa Pertengahan dan sepanjang yang diketahui sejauh ini,
semua karya sastra Jawa Pertengahan berasal dari Bali. Namun tidak berarti
sastra Jawa Pertengahan tidak di kenal di Jawa pada masa Majapahit. Karena
sangat memungkinkan sastra Jawa Pertengahan yang ada di Bali juga berasal dari
Jawa. Sekali lagi
perlu ditekankan bahwa istilah Jawa Pertengahan bukan berarti transisi dari
Jawa Kuno menuju Jawa Modern.
Istilah Jawa Modern disebut untuk menunjukkan bahasa yang digunakan dalam
sastra Jawa pada masa para pujangga
pada akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Bahasanya sama dengan bahasa Jawa
digunakan sampai saat ini, dan umumnya digunakan sebagai patokan bahasa Jawa
yang halus.
Ada dua naskah berbahasa Jawa Modern yang dihadiahkan pada perpustakaan
Universitas Leiden. Keduanya dibawa oleh sebuah kapal dalam pelayaran pertama
ke Jawa. Jadi kedua naskah tersebut pasti lah berasal dari abad ke-16.
Sedangkan pada saat itu, juga ditemukan adanya sastra Jawa Kuno dan Jawa
Pertengahan yang masih bertahan di Bali. Jadi, semakin kuat lah kenyataan bahwa
istilah-istilah penyebutan tersebut tidak menunjukkan suatu kronologi.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa Jawa Pertengahan dan Jawa Modern berasal
dari batang yang sama. Sejak masuknya pengaruh Islam di Jawa, terjadi
perpecahan, yaitu antara Jawa Kuno yang bertahan pada Hindhu-Jawa yang akhirnya
bertahan di Bali, dengan pengaruh bahasa Arab yang mengambil alih pengaruh
utama terhadap bahasa pribumi.
Pendapat ini dilemahkan oleh penelitian yang menghasilkan pengetahuan bahwa
Jawa Pertengahan sudah ada beberapa abad sebelum Majapahit runtuh, bahkan
hampir merupakan Jawa Modern.
Sangat sulit untuk menjelaskan makna sesungguhnya dari bahasa Jawa Kuno,
Jawa Pertengahan, dan Jawa Modern. Singkatnya, penelitian tentang Jawa Kuno
tidak termasuk bahasa Jawa yang menunjukkan adanya pengaruh Islam atau Arab.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan ‘sastra’ yang selanjutnya disandingkan
dengan ‘Jawa Kuno’, adalah perihal kesusastraan, yaitu keindahan. Seperti
pengertian sastra secara khusus.
5. Bagaimana Sastra Jawa Kuno Diawetkan
Karya sastra Jawa Kuno berasal dari masa yang jauh silam. Hanya sedikit
yang dapat bertahan hingga saat ini. Karya yang dapat kita temui saat ini pun
bukan lagi karya aslinya. Benda peninggalan Jawa Kuno yang masih asli adalah
berupa prasasti dan dokumen-dokumen penting yang ditulis di batu atau
lempengan, tapi tidak termasuk dalam kategori sastra yang dimaksudkan.
Sebagian besar teks yang selamat dilestarikan dan dijaga di Bali. Disalin
pada bahan daun lontar, yang ketika telah berbentuk buku juga disebut lontar.
Berasal dari kata ron tal dalam bahasa Sansekerta yang juga berarti daun
pohon.
Proses
pengawetannya memerlukan pengolahan
yang cukup rumit. Pertama, daun dikeringkan, lalu direndam dengan air,
seringkali air panas, kemudian diluruskan dan dijemur kembali, begitu
berulang-ulang. Setelah daun menjadi kaku seperti kayu, kemudian di gosok
dengan batu sehingga kulitnya halus dan mengkilap. Bila digunakan untuk menulis
catatan singkat dan tidak untuk jangka waktu yang lama, lontar yang telah
mengalami proses demikian tadi dilipat sepanjang tulangnya dan bagian luar
ditulisi, sedang bagian dalam tetap kosong. Di Bali, lontar seperti ini disebut
katihan atau ĕmbat- ĕmbatan. Tapi bila digunakan untuk
tujuan lebih awet dan mudah disimpan, dan ingin membendel seperti buku, maka
lemabaran lontar dipotong segi empat memanjang dengan panjang kira-kira 40 atau
60 cm dan lebar 3 sampai 4 cm. Seperti ini disebut lĕmpiran.
Kedua belahannya ditulisi, masing-masing pasti memuat empat baris tulisan,
tidak lebih. Pada kedua ujung, dan kadang di tengah dibuat lubang kecil untuk
mengikat lembaran-lembaran itu bersama-sama. Kemudian ditambahkan sampul yang
lebih tebal dan dibuat dari bahan yang lebih awet, seperti papan kayu, atau
gading. Tapi yang terakhir ini sangat jarang. Sampul ini dilubangi dengan cara
yang sama kemudian disatukan. Yang demikian ini disebut cakĕpan.
Bila dianggap sangat bermutu, buku-buku itu disimpan dalam kotak kayu yang bisa
ditutup rapat, dan disebut kropakan.
Menulis di daun lontar ini dengan cara mengukir huruf-hurufnya menggunakan
pisau kecil (pĕngutik / pĕngrupak). Setelah itu kulit
diolesi minyak kĕmiri (tingkih) berwarna hitam yang menyerap
hingga ke dalam goresan yang telah diukirkan. Setelah kulit lontar dibersihkan,
cairan hitam tinggal di dalam ukiran huruf-huruf yang nampak jelas.
Pengawetan dengan cara ini pada akhirnya juga rusak karena lamanya waktu
dan termakan serangga. Maka kebanyakan naskah yang ditemukan hanya berusia 100
hingga 150 tahun. Naskah-naskah yang berasal dari Jawa pun diawetkan di Bali,
disalin dengan huruf-huruf Bali.
Berbicara tentang huruf Bali, di daerah penyebarluasan kebudayaan
Hindhu-Jawa, prasasti tertuanya ditulis dengan huruf-huruf India. Sejak tahun
832 muncul bentuk huruf lain yang bentuknya dipengaruhi tulisan India namun
memperlihatkan sifat khasnya dan tidak ditemukan di luar Jawa. Tulisan ini
disebut tulisan Jawa Kuno dan kemudian di pakai secara resmi dalam berbagai
macam kepentingan.
Tulisan Jawa dan Bali yang hingga saat ini masih digunakan, sangat berbeda
dengan tulisan Jawa Kuno. Rupanya karena sangat mirip, maka tulisan Jawa dan
tulisan Bali dianggap sebagai satu jenis tulisan dengan varian yang berbeda.
Keduanya tidak mungkin berasal dari tulisan Jawa Kuno karena perbedaannya yang
sangat besar.
Mengenai naskah Jawa Kuno yang ditemukan tertulis dalam tulisan Bali,
apakah bentuk aslinya ditulis dalam Jawa Kuno atau sejak awal dalam tulisan
Bali masih belum dapat diketahui kepastiannya. Masalahnya adalah, ketika Jawa
Kuno makin terdesak oleh budaya baru (Islam), sedikit orang yang mempertahankan
Jawa Kuno menggunakan tulisan ini hanya untuk memenuhi sifat artifisial.
Sehingga kadang kala ditulis dengan halus dan indah namun terkadang juga buruk
sekali. Akhirnya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup kacau dalam tulisan
Jawa Kuno. Di lain pihak, naskah-naskah yang dibawa ke Bali di salin dengan
huruf-huruf Bali secara teratur dengan sedikit sekali kekeliruan. Maka Bali
sangat berjasa atas kesungguhan dalam pengetahuan dan minat mereka untuk
menjaga naskah Jawa Kuno.
Jasa Bali sangat besar karena kumpulan naskah sastra Jawa Kuno dan
Pertengahan yang kini disimpan di perpustakaan hampir semuanya berasal dari
Bali. Pada tahun 1928, didirikan lembaga Kirtya di bawah naungan pemerintah
Bali yang tujuannya melacak semua naskah yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno
dan Pertengahan, Bali, dan Sasak, yang terdapat di Bali dan Lombok.
Naskah-naskah ini kebanyakan dimiliki oleh perorangan, disalin secara tepat
oleh tim penyalin, kemudian naskah asli dikembalikan pada pemiliknya.
Naskah-naskah yang ada hingga saat ini, dapat bertahan dari berbagai faktor
yang menghambatnya. Banyaknya naskah yang tidak dapat bertahan hingga saat ini
dimungkinkan bila pada suatu ketika hilang minat terhadap karya sastra
tersebut, atau karya itu dianggap tidak begitu penting untuk diawetkan.
Kesulitan semakin bertambah karena terkadang satu naskah disebut dengan
beberapa nama, atau malah sebaliknya, beberapa naskah yang berbeda disebut
dengan sebutan yang sama. Banyaknya naskah yang tidak terselamatkan terkadang
dapat diketahui dari mempelajari kidung yang memunculkan nama kakawin-kakawin.
Siapa pun yang telah merelakan waktu dan tenaganya untuk menyalin dan
mengawetkan naskah-naskah itu sangat berjasa. Sayangnya, tidak mudah untuk
mengetahui siapa yang melakukannya, karena informasi mengenai ini tidak pernah
kita temukan dalam teks tersebut. Bila dalam kalangan keraton, mungkin saja ada
petugas yang bertanggung jawab untuk kelestarian koleksi naskah. Untung saja
terkadang setelah pekerjaannya selesai, penyalin memberikan catatan sambil
menceritakan kapan dan di mana salinan itu diselesaikan. Kadang juga disebut
namanya, sehingga kita dapat memperkirakan kedudukannya dalam lingkungan
sosial. Walaupun terkadang catatan mengenai diri penyalin itu sangat sedikit,
kebanyakan hanya berisi perendahan diri tentang tulisan yang buruk dan
kurangnya kemampuan penyalin. Padahal penyalinan itu sama sekali tidak buruk.
Kalaupun ada beberapa yang tidak sama persis dengan teks aslinya, hal itu dapat
dipertanggungjawabkan. Ada pun tentang sedikit perbedaan-perbedaan yang ada
itu, dapat diperkirakan bentuk aslinya melalui perbandingan dengan salinan
lainnya.
Sekali lagi, usaha untuk mempelajari dan melestarikan sastra Jawa Kuno
patut dihargai. Apalagi dilakukan oleh masyarakat Bali yang dengan niat besar mempelajari bahasa yang bukan bahasanya.
Hingga saat ini pun Jawa Kuno masih digemari. Ada perkumpulan aktif yang pada
setiap pertemuannya menampilkan dan mengapresisasi karya sastra Jawa Kuno.
Inilah sebabnya sangat beruntung masih terdapat dokumentasi budaya Jawa Kuno, arena tidak semua negara memilikinya.
Karya sastra yang berasal dari masa lampau diturunkan hingga masa sekarang
pasti lah dengan cara tertentu. Ada kemungkinan diturunkan secara turun-temurun
melalui lisan. Bila memang demikian maka akan terdapat banyak perubahan dari
bentuk aslinya. Hal ini tidak mungkin berlaku pada kakawin yang berasal dari
keraton Jawa, namun bisa terjadi pada syair-syair dari kalangan rakyat.
Karya asli seperti yang dibuat oleh pengarangnya disebut autograf.
Idealnya, sebuah salinan naskah persis sama dengan autograf. Ini lah yang
berusaha dicapai oleh filologi, untuk menemukan hubungan yang kira-kira paling
dekat kesamaannya dengan karya asli.
Perintis penelitian sastra Jawa Kuno adalah R. Friederich. Ia menerbitkan
dua teks kakawin yang dicetak dengan huruf Jawa Modern dan telah dicocokkan
dengan bertuk huruf Jawa Kuno pada tahun 1850-1852. Setelah itu bermunculan lah
cetakan-cetakan naskah sastra Jawa Kuno dengan berbagai macamnya, ada yang
dilampiri terjemahan dalam bahasa Bali, dengan penjelasan perihal
varian-variannya, komentar yang panjang lebar, atau pun terjemahan dalam bahasa
Belanda. Bersama dengan H. N. van der Tuuk yang juga menangani berbagai naskah.
Pada masa selanjutnya telah diketahui beberapa ahli yang menekuni bidang ini.
Untuk dapat mempertahankan suatu karya, diperlukan usaha yang tidak mudah.
Sangat diharapkan suatu bentuk yang sangat dekat dengan aslinya, kecuali
dalam bentuk fisik. Perihal bentuk teks, agar lebih mudah dimengerti, maka
salinan ditulis dalam teks roman. Sebenarnya cara ini lebih rawan terjadi kekeliruan dalam penafsiran karena gaya bahasa dan penulisan huruf Jawa dan
huruf Roman yang berbeda. Sehingga penyalin hanya memiliki sedikit pilihan
antara menyalin teks apa adanya namun tidak mudah dimengerti atau bertoleransi
dengan menyesuaikan dengan tulisan yang
digunakan namun berisiko tidak
jelasnya arti teks tersebut. Terutama bila teks berbentuk puisi dengan metrum
India, setiap kualitas kata sangat menentukan, sehingga tidak bisa
mengerjakannya dengan mudah.
Setiap penyunting naskah dapat menggunakan cara yang berbeda. Hal ini dapat
diterima asalkan agar tidak terjadi kekeliruan pemahaman, maka penjelasan
diberikan dalam bentuk kamus Jawa Kuno.
Bagaimana pun juga, proses transliterasi tidak lah mudah. Perbedaan
linguistik antara bahasa pada naskah asli dengan bahasa yang digunakan cukup
menyulitkan. Selain itu perlu diperhatikan juga perihal metrum dan
aturan-aturan yang berlaku pada naskah tersebut.
Ringkasan berdasarkan:
Zoetmulder, P.J., 1994. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Cetakan ke-3. Penerjemah: Dick Hartoko. Jakarta: Djambatan.