Batik Motif Ulat Bulu: Motif Batik sebagai Media Penyimpanan Pesan


Motif batik ditinjau dari segi historis-arkeologis sudah ada sejak jaman kerajaan Hindu-Budha di Jawa. Terbukti dengan adanya ragam hias batik yang tergambar pada relief beberapa candi. Diataranya Candi Sewu di Prambanan, dan pada Candi Ngrimbi di Jawa Timur, dan di beberapa tempat lainnya (Yusuf, 1991, hal. 3).
Pada masa lampau masyarakat Jawa menggunakan kain batik sebagai busana tradisional. Penggunaannya dapat ditinjau dari beberapa aspek, antara lain:
  1.            Ceremonial: pada upacara-upacara adat baik di lingkungan keraton maupun di kalangan masyarakat umum, batik digunakan sebagai pelengkap. Pada lingkungan keraton, penggunaan batik dalam upacara adat berorientasi pada penghormatan yang penuh dedikasi terhadap raja sebagai penguasa tertinggi.
  2.           Ritual: pada upacara ritual, batik berperan sebagai bagian sesaji yang ditujukan atau dipersembahkan kepada penguasa atau penghuni lingkungan yang diberi sesembahan.  Maksudnya agar masyarakat selalu mendapat keselamatan dan bebas dari malapetaka. 
  3.     Historis Kultural: pada masa lampau masyarakat menggunakan kain batik juga mempertimbangkan tentang latar belakang sejarah terjadinya ragam hias serta nilai filosofisnya. Dengan mengetahui latar belakang sejarah dan nilai filosofisnya, maka masyarakat akan dengan lebih mantap memilih menggunakan motif tertentu. Beragam motif batik bagi masyarakat memiliki makna filosofis tertentu. Penggunaan batik dengan motif tertentu dipilih dengan mempertimbangkan nilai filosofisnya. Contohnya motif Parang Rusak dilarang digunakan dalam upacara pengantin, karena melambangkan kerusakan dan kesengsaraan[1].

Penggunaan dan filosofi motif batik menggambarkan peranan batik bagi masyarakat penggunanya. Peranan batik dalam kehidupan keseharian masyarakat sangat penting. Mulai dari penggunaan keseharian hingga pada upacara penting dan acara religius. Pemilihan motifnya pun tidak sembarangan. Penggunaan batik dipilih dengan menyesuaikan segi historis dan filosofis motifnya.
Motif batik terdiri atas ornamen-ornamen yang merupakan perlambang dari alam sekitar. Motif tersebut disusun dengan menyimpan nilai filosofis tertentu. Sebagai contohnya, motif kain batik “Semen Rama” memiliki beberapa ornamen pokok.
  1. Ornamen yang berhubungan dengan daratan, ornamen “meru” melambangkan gunung, bumi, atau tanah.
  2. Ornamen yang berhubungan dengan udara, ornamen burung sebagai lambang dunia atas atau udara (kadang-kadang digambarkan dengan binatang terbang: kupu-kupu), ornamen garuda atau rajawali adalah lambang matahari atau tata surya.
  3. Ornamen yang berhubungan dengan laut atau air, seperti ular, ikan dan katak, atau baita (kapal laut). Jenis ornamen tersebut kemungkinan besar ada hubungannya dengan paham Triloka atau Tribawana. Paham tersebut adalah ajaran tentang adanya tiga dunia; dunia tengah tempat manusia hidup, dunia atas tempat para dewa dan para suci, serta dunia bawah tempat orang yang jalan hidupnya tidak benar/dipenuhi angkara murka.
  4. Ornamen lidah api melambangkan api, agni, geni, atau dewa api, Batara Brama, lambang yang sakti, lidah api digambarkan berbentuk cemukiran.
  5. Ornamen Pusaka (pusaka keraton) digambarkan dengan tombak. Maknanya adalah daru atau wahyu, lambang kegembiraan dan ketenangan.
  6. Ornamen dampar atau tahta, atau singgasana sebagai lambang kekuasaan. Kekuasaan yang adil sebagai pelindung rakyat. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa yang memiliki kesaktian.
  7. Selain makna tersebut motif Semen Rama seringkali dihubungkan dengan cerita Ramayana yang sarat dengan ajaran Hastha Brata atau ajaran keutamaan melalui delapan jalan. Ajaran ini adalah wejangan keutamaan dari Ramawijaya kepada Wibisana ketika dinobatkan menjadi raja Alengka. Jadi Semen Rama mengandung ajaran sifat-sifat utama yang seharusnya dimiliki oleh seorang raja atau pemimpin rakyat[2] .

Adanya sisi filosofis yang tersimpan dalam motif batik menunjukkan bahwa selain fungsi praktis sebagai pakaian maupun pelengkap upacara, batik sebagai karya seni juga berperan sebagai media penyimpan nilai-nilai kultural yang digambarkan dengan perlambang dengan simbol dari alam sekitarnya.
Penyampaian pemikiran atau pesan melalui karya seni ini lah yang disampaikan Jackson Barry, yakni bahwa hasil-hasil budaya diadakan untuk menyimpan sejarahnya dan menyelenggarakan kepentingan komersial kesehariannya, yang biasanya memproduksi sekumpulan tanda yang dianggap sebagai karya seni.” (Barry, 1999, hal. 133)
Pernyataan Jackson Barry tersebut berarti bahwa setiap karya seni memiliki dua nilai, yakni nilai komersil, dan sebagai media penyimpanan latar belakang pembuatannya. Begitu pula dengan batik yang juga merupakan sebuah karya seni. Motif batik memiliki latar belakang pembuatannya sendiri dengan pesan yang terkandung dalam karya seni tersebut.
Dengan melihat gambar perlambang yang dipergunakan dalam motif batik,  dapat diketahui latar belakang pembuatan dan nilai filosofi motif tersebut. Motif Parang Rusak contohnya, dikatakan muncul karena ketika Sultan Agung Mataram berdiri di pantai selatan Yogyakarta dan melihat batu karang diterpa ombak sehingga banyak yang rusak, sehingga dibuatlah motif parang rusak. Motif Parang Huk timbul di jaman pemerintahan Sultan Agung. Yakni ketika Sultan Agung pergi ke Mekkah pernah melemparkan batu-batu kecil ke tanah, dan tanah tersebut lalu menjadi “oase” kemuadin muncul siput, sehingga lahir lah motif batik beragam hias kelompok parang diselubungi hiasan motif siput (Yusuf, 1991, hal. 5-6).
Seiring perubahan waktu, terjadi peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi budaya Jawa. Pengaruh tersebut juga terekam dalam motif batik. Batik dari daerah pesisir banyak memperoleh pangaruh asing. Hal ini karena daerah tersebut menjadi daerah yang sering bersentuhan dengan pedagang asing, dan juga pada akhirnya penjajah. Etnis Tionghoa membawa unsur warna-warna cerah seperti merah, dan mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah dari Eropa menghasilkan corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan kendaraan bawaannya (seperti kereta), juga memasukkan unsur warna biru (Batik, 2011).
Hingga saat ini, batik masih hidup dan berkembang dalam budaya Jawa. Motifnya pun berkembang sesuai dengan keadaan sekitarnya. Perkembangan tersebut melahirkan motif-motif batik yang baru.
Hanan Abdul Jalil, seorang pengusaha batik asal Malang membuat kreasi baru dalam motif batik. Motif baru tersebut merupakan hasil kreativitas yang muncul karena adanya keadaan yang cukup mencolok pada lingkungan sekitarnya.
Pada kisaran bulan Maret – April 2011, muncul adanya wabah ulat bulu di Indonesia. Berawal dari Probolinggo, Jawa Timur, hingga menyebar ke daerah-daerah di sebelah barat dan timurnya. Wabah ini dikatakan sebagai wabah ulat bulu terbesar dalam sejarah ("Ini Wabah Ulat Bulu Terparah dalam Sejarah", 2011). Pada saat itu, ulat bulu dengan jumlah besar tersebar di pohon-pohon hingga dinding-dinding rumah. Warga hingga harus menebang pohon-pohon yang berdaun lebat untuk mengurangi kemungkinan tempat bagi ulat bulu.
Pemandangan ulat bulu dalam jumlah besar di berbagai tempat ini menjadi inspirasi bagai Hanan Abdul Jalil untuk membuat motif batik. Seniman batik Malangan tersebut membuat motif batik bergambar ulat bulu. Motif yang digambar lengkap dengan daun dan telur ulat bulu. Ada juga gambar seekor burung atau kupu-kupu yang melambangkan hewan langit, pemangsa ulat bulu.
Motif batik ini menceritakan tentang ketidakseimbangan ekosistem yang disebut-sebut sebagai sebab munculnya wabah ulat bulu. Sedikitnya pemangsa ulat bulu digambarkan dengan burung atau kupu-kupu yang jumlahnya hanya sebuah. Sedangkan ulat bulu yang ada pada daun berjumlah banyak lengkap dengan telurnya.

Motif batik ulat bulu hanya diproduksi dalam jumlah terbatas. Hal ini karena maksud pembuatan batik motif ulat bulu adalah untuk menyampaikan pesan tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem. Pesan ini akan disampaikan dengan media batik kepada instansi pemerintah terkait.
Kasus wabah ulat bulu yang menjadi motif batik ini mengarahkan pada satu kesimpulan. Batik bukan hanya memiliki fungsi sebagai bahan sandang bagi masyarakat Jawa. Sifatnya sebagai karya seni membuatnya memiliki fungsi lain, yakni sebagai media penyimpan pesan tertentu, selain masalah estetika. Batik masih menjadi media terpilih dalam mengungkapkan ekspresi mengenai wabah ulat bulu, dan peringatan akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem.

Daftar Pustaka


"Ini Wabah Ulat Bulu Terparah dalam Sejarah". (2011, Maret 30). Retrieved Juni 23, 2011, from VIva News: http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&cd=3&ved=0CCoQFjAC&url=http%3A%2F%2Fnasional.vivanews.com%2Fnews%2Fread%2F212176--ini-wabah-ulat-bulu-terparah-dalam-sejarah-&rct=j&q=wabah%20ulat%20bulu&ei=TUwCTo_fE8rorQex38iGAw&usg=AFQjCNEo_zVKRjVXQvpGjFsv01G
Barry, J. (1999). Art, Culture, and The Semiotics of Meaning. New York: St.Martin's Press.
Batik. (2011, Juni 21). Retrieved Juni 22, 2011, from Wikipedia: Ensiklopedia Bebas: http://id.wikipedia.org/wiki/Batik
Batik Semen Rama. (2011, 5 22). Retrieved 6 22, 2011, from Wikipedia: Ensiklopedia Bebas: http://id.wikipedia.org/wiki/Batik_Semen_Rama
Yusuf, A. (1991). Pameran Khusus Peranan Batik Sepanjang Masa. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Permuseuman.


[1] Berdasarkan (Yusuf, 1991)
[2] Berdasarkan (Yusuf, 1991) dan (Batik Semen Rama, 2011)


0 Responses to “Batik Motif Ulat Bulu: Motif Batik sebagai Media Penyimpanan Pesan”: